Indonesia adalah negara yang kaya dengan budaya tutur, tidak heran jika kisah dari jaman dulu masih bisa didengarkan melalui dogeng sebelum tidur, kisah yang mengandung banyak hikmah.
19 tahun lalu, tepat 26 Desember 2004 budaya tutur pula yang sudah menyelamatkan banyak warga Pulau Simeulue Aceh dalam bencana Gempa dan Tsunami yang menewaskan sebanyak 17.000 orang. Pulau Simeulue adalah salah satu Kabupaten di Aceh, ibukotanya Sinabang. Pulau yang dikelilingi oleh laut ini, pada bencana 19 tahun silam hanya menewaskan 6 orang.
Ternyata, budaya tutur sebagai mitigasi bencana bukan hanya isapan jempol belaka. Pada tahun 1907 di Seumelu terjadi gempa dan tsunami yang sangat besar, banyak yang meninggal akibat dari bencana tersebut.
Akhirnya para leluhur Simeulu menciptakan hikayat yang biasanya dinyayinkan berjudul linong dan Smongyang yang dikenal dengan Smong.
Hikayat Smong menyelamatkan setidaknya 80 ribu orang yang tinggal di 10 kecamatan Pulau Simeulue. Apa kiranya isi hikayat tersebut?
Enggelmon Sao curito (Dengarlah sebuah cerita)
Inang maso semonan (pada masa jaman dulu)
Manoknop sao fano (tenggelam satu tempat)
Wila dasesewan (Begitulah mereka ceritakan)
Unenne Alek Linon (Diawali dengan gempa)
Besang bakatne Malli (Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop Sao hampong (Tenggelam seluruh kampung)
Tibo-tibo Mawi (Tiba-tiba saja)
Anga linonne Malli (Kalau gempanya kuat)
Uwek surui sahuli (Disusul air surut sekali)
Mahea mihawali (Segera cari)
Fanome singa tenggi (Tempat kalian yang lebih tinggi)
Ede Smong kahanne (Itulah Smong namanya)
Turiang da nenekta (Sejarah nenek moyang kita)
Miredem teher ere (Ingatlah ini betul-betul)
Pesan dan navida (Pesan dan nasihatnya)
Syair lagu yang bercerita tentang Smong karya Muhammad Riswan dengan nama tenarnya Moris, salah satu tokoh adat dan pemerhati budaya Simeulue.
Kisah Smong diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui nafi-nafi. Nafi adalah budaya lokal masyarakat Simeulue berupa adat tutur atau cerita yang berisikan nasihat dan petuah kehidupan, termasuk Smong. Para tetua dan tokoh adat menyampaikan nafi-nafi kepada kaum muda untuk menjadi pelajaran hidup. Biasanya Nafi-nafi digunakan sebagai penghilang lelah setelah berkebun, panen atau juga di Surau mengaju selepas magrib. Meski saat ini penutur Nafi-nafi sudah berkurang, namun Smong sudah banyak dialihkan dalam bentuk puisi atau lagu serta disebarkan dalam banyak media cetak maupun elektronik. Awalnya karena Smong sudah membuat masyarakat dunia kagum pada Pulau Simeulue yang hanya memakan korban 6 orang ketika gempa dan Tsunami melanda Aceh pada 26 Desember lalu dengan sedemikian dahsyatnya.
Selain budaya tutur, masyarakat Simeulue oleh leluhurnya juga diamanahkan untuk membaca tanda alam, seperti kerbau yang bersuara keras dan berlarian tidak tentu arah, burung-burung yang berterbangan ke sana-kemari adalah tanda-tanda akan adanya bencana besar.
Mengigat peristiwa tsunami yang besar tersebut, sebagai generasi muda melestarikan budaya tradisional sebagai mitigasi bencana wajib dipelajari lagi, akan lebih baik masuk dalam kurikulum sekolah. (Nita Juniarti)