“Anak dan perempuan sering dianggap lemah dan kurang perhatian, bahkan seringkali menghadapi tantangan dalam meraih pemenuhan haknya. Oleh karena itu, kita harus bersama-sama membangun lingkungan gampong yang ramah dan siaga dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak”.
SeulangaNews.com | ACEH BESAR – Pencegahan dan penanganan isu kekerasan terhadap perempuan dan anak berbasis komunitas, Yayasan Bantuan Hukum Anak (YBHA) Peutuah Mandiri menggelar pelatihan bagi aparatur gampong dan stakeholder. Pelatihan berlangsung selama dua hari, yaitu pada Selasa, (31/10/2023) hingga (1/11/2023) di Aula Kantor Camat Kuta Baro, Aceh Besar.
Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat Gampong (Kasi PMG) Kecamatan Kuta Baro, Dedy Saputra, saat membuka pelatihan mengatakan, kegiatan ini sangat penting untuk meningkatkan kapasitas dan kesadaran aparatur gampong dan masyarakat dalam melindungi hak-hak perempuan dan anak.
“Anak dan perempuan sering dianggap lemah dan kurang perhatian, bahkan seringkali menghadapi tantangan dalam meraih pemenuhan haknya. Oleh karena itu, kita harus bersama-sama membangun lingkungan gampong yang ramah dan siaga dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Dedy.
Direktur YBHA Peutuah Mandiri, Rudi Bastian, menambahkan, program ini didukung oleh Non Violent Peace Force melalui kedutaan Belanda dengan nama SPEAR (Support to transitional justice and reconciliation, promotion of human rights, and sustenance of peace in Aceh).
“Tujuan kami adalah untuk meningkatkan perlindungan dari eksploitasi kekerasan seksual yang kerap terjadi kepada kelompok perempuan dan anak di tingkat masyarakat. Kami juga berharap adanya komitmen aparatur gampong dalam penyusunan qanun gampong di tingkat komunitas,” ujar Rudi.
Salah satu materi yang disampaikan dalam pelatihan tersebut, tentang kewajiban pemerintah gampong dalam mewujudkan lingkungan gampong yang ramah dan siaga penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Perihal tersebut sebagaimana bunyi pasal 51 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Gampong, yaitu “pemerintah gampong wajib membuat peraturan tingkat gampong tentang mekanisme penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, sosialisasi peraturan terkait pemberdayaan dan perlindungan hak perempuan serta perlindungan anak. Kemudian penguatan kesadaran masyarakat untuk peduli persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengalokasikan anggaran untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta membangun sistem penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak berbasis masyarakat”.
Kegiatan pelatihan ini di ikuti sebanyak 25 orang yang berasal dari unsur aparatur gampong, tuha peut, dan tokoh perempuan dari Kecamatan Kuta Baro dan Kecamatan Blang Bintang. Turut menjadi narasumber dalam pelatihan, yaitu Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Dr. Rasyidah yang memberikan pengantar tentang Hak dan Perlindungan Perempuan dan Anak, serta Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Besar, Asnawi Zainun. ia menjelaskan tentang kedudukan dan fungsi Qanun Qampong melalui pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) dan mekanisme adat.
Rasyidah juga memaparkan hasil temuan tentang tingginya angka kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak, baik secara verbal ataupun non-verbal. Selain itu dia juga menjelaskan kebijakan responsif gender dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah. “Tujuannya adalah untuk memberikan keadilan bagi semua penerima manfaat pembangunan, termasuk kelompok rentan lainnya. Desain dan pelaksanaan pembangunan harus memperhatikan responsivitas, kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi semua penerima manfaat,” tuturnya.
Sementara itu, dalam pemaparannya Ketua MAA Aceh Besar menjelaskan beberapa nilai adat yang harus diperhatikan dalam penyusunan kebijakan gampong yang berkeadilan bagi perempuan dan anak. Nilai adat tersebut meliputi: menghormati marwah pemimpin gampong sebagai orang tua, mewujudkan fungsi meunasah dan rumah adat sebagai zona aman, mengembalikan fungsi meunasah sebagai ruang belajar bersama, menjadikan gampong sebagai ruang belajar usia dini, memenuhi hak belajar untuk anak.
Kemudian ia juga menambahkan pentingnya pemperkuat adat masa mumee dan tradisi peurateb aneuk, mengajarkan ketrampilan kepada anak, mengembalikan filosofi perempuan sebagai peurumoh (system kekerabatan Aceh), mengakui kedudukan hareuta sihareukat (hak perdata perempuan) dan pengkaderan Teungku Inong dan Tokoh Perempuan.
Pelatihan terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak bagi aparatur gampong dan stakeholder, sangat diperlukan guna mendorong dan membekali aparatur gampong dalam membuat kebijakan-kebijakan serta melahirkan Reusam atau Qanun Gampong yang nantinya dapat mendukung terhadap penanganan dan pencegahan, di tengah tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh. (San)